ASAL MULA
TERBAGINYA
PULAU PAGAI
PULAU PAGAI
Pada
zaman dahulu kala, Pagai Utara dan Pagai Selatan merupakan satu pulau. Pada
pertengahan pulau itu berdiri sebuah bukit kecil yang ditumbuhi rimba belantara
yang angker dan sangat mengerikan bagi penduduk setempat. Dalam hutan rimba
yang lebat itu bersemayam seekor burung elang hitam yang sangat galak lagi buas
dan sangat menakutkan.
Burung elang itu disebut si Manyang,
bersarang di atas sebuah pohon raksasa yang tumbuh di bukit kecil itu. Menurut
kepercayaan orang Mentawai, burung itu pembawa malapetaka bagi masyarakat
penghuni Pulau Pagai. Burung itu setiap hari terbang melayang-layang dari
kampung ke kampung mencari bayi untuk dijadikan mangsanya. Mangsanya itu
digunggung dan dibawa terbang hidup-hidup untuk dilahapnya di puncak bukit yang
sunyi itu dimana ia bersarang. Gangguan itu sangat berbahaya dan sangat
menyusahkan penduduk, karena bisa mengancam perkembangan penduduk dan kelanjutan
keturunannya.
Pada mulanya penduduk sama sekali
tidak mengetahui bahwa hilang-lenyapnya bayi-bayi itu akibat keserakahan si
Manyang. Kaum ibu berkabung dan merasa sedih atas kehilangan anak-anaknya
secara tiba-tiba. Kejadian itu menjadi buah bibir dan merupakan teka-teki
misterius. Kaum lelaki mulai mengadakan musyawarah, mencari akal bagaimana
mengatasi situasi amat gawat itu. Mereka sepakat dan bertekat bulat mencari
pencuri bayi-bayi itu. Berhari-hari mereka masuk dan keluar hutan siap dengan
busur dan anak panahnya. Akan tetapi usaha mereka yang sudah berminggu-minggu
itu tidak memperoleh hasil. Hati mereka semakin kecut, cemas, kecewa dan nyaris
putus asa. Tetapi pada suatu hari mereka menemukan jalan setapak yang
menghantarkan mereka ke puncak bukit kecil itu. Di sana, mereka menemukan
tulang belulang anak manusia yang berserakan di bawah sebuah pohon raksasa.
Tahulah mereka sekarang, bahwa di atas pohon besar itu bersarang si Manyang
yang telah memangsai anak-anak mereka selama ini.
Pohon itu harus ditebang, supaya
burung jahanam itu jangan lagi bersarang dan segera enyah dari Pagai. Usaha
penebangan mulai dilakukan. Waktu yang tepat harus di malam hari. Pada malam
pertama, hasil kerja mereka sangat mengecewakan. Pohon itu sangat keras dan
liat. Malam berikutnya, dilakukan lagi penebangan. Aneh sekali dan sangat
mengherankan, ternyata keesokan harinya bagian yang telah ditetak, kembali
seperti keadaan semula. Pohon raksasa itu utuh kembali seolah-olah punya
kesaktian dan kekebalan. Namun keadaan ini tidak melumpuhkan semangat mereka,
bahkan membuat hati mereka semakin kuat untuk menumbangkan pohon tersebut.
Mereka telah berketetapan hati untuk menumbangkannya dalam waktu satu malam
saja. Oleh sebab itu, kerja mereka harus lebih intensif dan berkesinambungan
tanpa henti dan mengenal lelah.
Setelah semalam suntuk bekerja keras
membanting tulang, berhasillah usaha mereka. Pagi harinya, ketika fajar
merekah, tumbanglah pohon raksasa itu dengan dahsyatnya. Pohon itu rebah
membelintang ke sebelah barat membagi Pulau Pagai menjadi dua bagian. Begitu
besar dan beratnya pohon itu, sehingga tanah yang ditimpanya terbelah dan air
lautpun naik mengenangi daratan. Terjadilah sebuah selat yang membagi dua Pulau
Pagai, yaitu Pagai Utara dan Pagai Selatan. Bukit dimana pohon raksasa itu
tumbuh menjelma menjadi sebuah pulau kecil di depan selat di timur. Bukit kecil
itu dikenal dengan nama Bakat Minuang dan selat itu bernama Selat Sikakap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar